Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Kita bisa berkomunikasi, berbagi informasi, dan mengakses berbagai macam konten di media sosial. Salah satu fenomena yang muncul di media sosial adalah adanya content creator, yaitu orang-orang yang kreatif dan produktif dalam membuat konten-konten menarik dan bermanfaat bagi orang lain. Dengan menjadi content creator, seseorang bisa juga menjadi influencer, yaitu orang yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat, baik di dunia maya maupun nyata.
Influencer Politik dan Perannya
Salah satu bidang yang banyak diminati oleh para content creator dan influencer adalah politik. Politik adalah hal yang penting dan relevan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menjadi influencer politik, seseorang bisa menyampaikan informasi, sekaligus membentuk opini publik tentang berbagai isu politik. Para influencer politik ini memanfaatkan media sosial [Instagram, Youtube, Twitter, Threads, dan TikTok] untuk menjangkau jutaan orang dan menyebarkan pesan politik dengan cepat dan efektif. Di Indonesia, influencer politik bisa berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari artis, tokoh masyarakat, akademisi, hingga aktivis digital. Mereka bisa memiliki pengaruh yang besar karena memiliki basis penggemar yang besar hingga jutaan dan setia.
Dari Pandangan Islam
Namun, apakah menjadi influencer politik itu sesuai dengan ajaran Islam? Apakah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang influencer politik agar tidak melanggar Syari’at? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur pada 29 Agustus 2023 . Dalam fatwa tersebut, disebutkan bahwa menjadi influencer politik itu tidak haram, asalkan memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Memenuhi segala ketentuan yang berlaku dalam akad yang membentuknya, misalnya tidak ada unsur penipuan, gharar, riba, dan sebagainya.
- Tidak ada mawani’ syar’i (larangan Syari’at) yang dilakukan oleh influencer, misalnya tidak menyebarkan kebohongan, fitnah, ujaran kebencian, provokasi, dan sebagainya.
- Tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kekurangan) dalam konten yang dibuat oleh influencer, misalnya tidak menyembunyikan sumber informasi, tidak menyembunyikan afiliasi politik, tidak menyembunyikan kepentingan pribadi atau kelompok, dan sebagainya.
- Tidak ada unsur ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan yang tidak mahram dalam konten yang dibuat oleh influencer, misalnya tidak ada adegan yang mengumbar aurat, tidak ada adegan yang menimbulkan syahwat, tidak ada adegan yang melanggar adab, dan sebagainya.
Kesimpulan
Dengan demikian, menjadi influencer politik itu bisa menjadi hal yang baik dan bermanfaat, jika konten yang dibuat oleh influencer politik itu bisa memberikan informasi yang benar, jujur, dan adil kepada masyarakat, serta bisa meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat. Dengan begitu, influencer politik bisa menjadi salah satu sarana untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan negara.
Ikuti saluran Masjid Al Mubarokah di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaFmZ6F8F2p9lKqnx90s
Baca artikel kami lainnya di: Google News
Diskusi tentang post ini