Masjid Al Mubarokah, Jakarta – Sunan Ampel berhasil mengislamkan Lembu Peteng, seorang penguasa Madura yang awalnya tidak senang dengan dakwahnya. Lembu Peteng merasa bersalah setelah mencoba menusuk Sunan Ampel dengan keris, tetapi gagal karena Sunan Ampel memiliki kekebalan.
Sebelumnya, Lembu Peteng pernah mengusir dua orang ulama yang dikirim oleh Sunan Ampel, yaitu Khalifah Usen dan Syekh Ishak.
“Lembu Peteng tidak hanya mengusir kedua ulama tersebut, tetapi juga menyusup ke Ampeldenta, menyamar sebagai santri,” demikian dikutip dari buku Atlas Wali Songo (2016).
Sunan Ampel adalah salah satu Wali Songo tertua yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, dengan cara yang lembut dan ramah. Sunan Ampel menggunakan pendekatan persuasif, yaitu pendekatan keluarga yang penuh kasih sayang.
Namun, Lembu Peteng tetap tidak suka dengan Sunan Ampel dan berpura-pura menjadi santri di Ampel dengan niat jahat. Dia berencana membunuh Sunan Ampel. Rencana itu dilaksanakan saat menjelang Sholat Isya, di mana dia sudah bersembunyi di tempat wudhu.
Ketika melihat Sunan Ampel datang, Lembu Peteng diam-diam mengeluarkan keris dan langsung menikam tubuh Sunan Ampel. Namun, keris pusaka itu tidak bisa melukai Sunan Ampel.
Lembu Peteng pun langsung menyerah dan memohon maaf. “Lembu Peteng dikisahkan mau memeluk Islam setelah peristiwa itu”.
Dalam kisah lain diceritakan gangguan datang saat Sunan Ampel mengajarkan sholat lima waktu. Gerakan ibadah salat Sunan Ampel dianggap aneh dan ditertawakan oleh orang-orang Majapahit. Namun Sunan Ampel menghadapi ejekan itu dengan sabar, tanpa marah.
Sunan Ampel juga dicemooh saat hendak makan karena menghindari daging babi dan katak, dan memilih mengambil daging kambing yang berbau prengus atau busuk.
Sunan Ampel dikatakan bodoh karena tidak memilih daging babi yang lebih enak dan daging katak yang rasanya lebih lezat. Sunan Ampel menjawab cemoohan orang-orang Majapahit itu dengan tersenyum.
Dalam Babad Tanah Jawi dituturkan Sunan Ampel yang merupakan ayah Sunan Bonang dan Sunan Drajat tidak marah dan tetap bersikap sabar.
“Ananging putra Champa datang duka maring bocah Majapahit, mila bocah maksih nom-noman,” demikian tertulis dalam Babad Tanah Jawi.
Diskusi tentang post ini