Jakarta – Politik identitas merujuk pada upaya politik yang menggunakan perbedaan-perbedaan di antara suatu masyarakat, seperti agama, ras, etnis, bahasa, dan faktor lainnya, sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan serta pengaruh politik. Pendekatan ini kerap kali memunculkan ketidakadilan serta diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda dari mayoritas atau kelompok yang berkuasa.
Dalam sejarah Islam, kita dapat menemukan banyak contoh para sahabat Nabi yang menunjukkan sikap adil dan toleran terhadap semua orang, tanpa membedakan agama, ras, suku, atau bahasa mereka. Mereka tidak terjebak dalam politik identitas yang dapat merusak persatuan dan perdamaian.
Berikut adalah tiga kisah sahabat Nabi yang menolak politik identitas dan menjadi teladan bagi kita semua:
1. Umar bin Khattab dan Orang Tua Ahli Dzimmah
‘Umar bin Khattab adalah khalifah kedua yang terkenal dengan keadilan dan ketegasannya. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang tua dari ahli dzimmah, yaitu orang non-muslim yang tinggal di bawah perlindungan negara Islam. Orang tua itu sedang mengemis di jalan.
‘Umar berkata kepadanya, “Kami tidak adil kepadamu, jika kami mengambil jizyah (pajak) darimu saat muda, lalu mengabaikanmu saat tua.” Lalu ia memberinya uang dari baitul mal (kas negara) dan berkata, “Andai seekor unta mati tersesat di tepi sungai Efrat pun, aku takut Allah akan mempertanyakannya padaku di akhirat kelak.” (As-Suyuthi, Jami’ul Ahadits, jilid XXVI, hal. 475).
وَكَيْفَ رَضِيْتُمْ أَنْ تَكُوْنُوْا هٰذَا الشَّيْخُ الْعَجُوْزُ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ يَسْأَلُ مِنْ بَابٍ إِلَى بَابٍ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ مَا فَعَلْنَا بِكَ يَا شَيْخُ إِنَّا لَمْ نَعْدِلْ إِلَيْكَ إِذْ أَخَذْنَا مِنْكَ الْجِزْيَةَ وَأَنْتَ صَغِيْرٌ ثُمَّ تَرَكْنَاكَ وَأَنْتَ كَبِيْرٌ فَأَخَذَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَأَعْطَاهُ وَقَالَ لَهُ وَاللّٰهِ لَوْ أَنَّ نَاقَةً مَاتَتْ عَلَى شَاطِئِ الْفُرَاتِ لَسَأَلَنِي اللّٰهُ عَنْهَا لِمَاذَا مَاتَتْ
Artinya, “Bagaimana kalian rela orang tua ini dari ahli dzimmah mengemis dari pintu ke pintu? Lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Kami tidak berbuat adil kepadamu, wahai orang tua. Kami mengambil jizyah darimu saat muda, lalu meninggalkanmu saat tua.” Lalu ia mengambil dari baitul mal dan memberikannya kepadanya dan berkata, “Demi Allah, jika seekor unta mati di tepi sungai Efrat, Allah akan menanyakan kepadaku mengapa ia mati.” (As-Suyuthi, Jami’ul Ahadits, jilid XXVI, hal. 475).
Kisah ini menunjukkan bahwa ‘Umar sangat memperhatikan kesejahteraan dan hak-hak semua warga negaranya, baik muslim maupun non-muslim. Ia tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan agama atau identitas lainnya. Ia juga sangat bertanggung jawab atas kepemimpinannya dan takut kepada Allah.
2. Ali bin Abi Thalib dan Orang Yahudi
‘Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dan sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Ia juga dikenal sebagai salah satu sahabat yang paling berilmu dan berani. Suatu ketika, ia berselisih dengan seorang Yahudi dan membawa perkara itu ke hadapan ‘Umar bin Khattab, yang saat itu masih menjadi khalifah.
‘Umar menyuruh ‘Ali untuk duduk di sebelah lawannya, yaitu orang Yahudi itu. ‘Ali tampak tidak senang dengan perintah itu dan menunjukkan ekspresi marah. Setelah ‘Umar memutuskan perkara itu dengan adil, ia bertanya kepada ‘Ali, “Apakah aku telah menyinggung perasaanmu dengan menyuruhmu duduk di sebelah lawanmu?”
‘Ali menjawab, “Tidak, demi Allah, tapi aku tersinggung karena engkau memanggilku wahai Abul Hasan, dan ini adalah penghinaan bagiku di depan lawanku. Aku takut orang Yahudi ini merasa tidak ada keadilan di kalangan umat Islam!” (Muhammad bin Ahmad al-Absyihi, al-Mustathraf min kull fann mustathraf, jilid I, hal. 99).
فَلَمَّا قَضَى عُمَرُ بَيْنَهُمَا وَأَنْصَفَهُمَا ثُمَّ قَالَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَلَمْ أُؤْذِكَ بِقَوْلِي لَكَ يَا أَبَا الْحَسَنِ اجْلِسْ عِنْدَ خَصْمِكَ فَقَالَ لَا وَاللّٰهِ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلَكِنْ أَسَأْتَ إِلَيَّ بِقَوْلِكَ لِي يَا أَبَا الْحَسَنِ وَهُوَ ذُلٌّ لِي عِنْدَ خَصْمِي وَأَخْشَيْتُ أَنْ يَظُنَّ هٰذَا الْيَهُوْدِيُّ أَنَّهُ لَا يُقْضَى بِالْعَدْلِ بَيْنَنَا
Artinya, “Ketika ‘Umar memutuskan di antara mereka dan memberi keadilan kepada mereka, lalu ia berkata kepada ‘Ali, “Apakah aku telah menyakiti hatimu dengan berkata kepadamu, wahai Abul Hasan, duduklah di samping lawanmu?” ‘Ali berkata, “Tidak, demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tapi engkau telah berbuat buruk kepadaku dengan berkata kepadaku, wahai Abul Hasan, dan ini adalah penghinaan bagiku di depan lawanku. Aku takut orang Yahudi ini mengira bahwa tidak ada keadilan di antara kami.” (Muhammad bin Ahmad al-Absyihi, al-Mustathraf min kull fann mustathraf, jilid I, hal. 99).
Kisah ini menunjukkan bahwa ‘Ali sangat menghormati orang lain, meskipun berbeda agama dengannya. Ia tidak mau ada kesan bahwa ia lebih unggul atau lebih diistimewakan dari orang Yahudi itu. Ia juga menginginkan agar orang Yahudi itu mendapatkan keadilan yang sama dengan dirinya.
3. Ubadah bin ash-Shamit dan al-Muqawqis
Ubadah bin ash-Shamit adalah salah satu sahabat yang berkulit hitam dan terhormat. Ia adalah ketua delegasi yang dikirim oleh ‘Amr bin al-‘Ash untuk berunding dengan al-Muqawqis, seorang raja Koptik yang berkuasa di Mesir. (Ibnu Taghri Bardi, Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Mishr wal Qahirah, jilid I, hal. 12).
Ketika ‘Ubadah bertemu dengan al-Muqawqis, raja itu merasa tidak suka dengan warna kulitnya yang hitam. Ia meminta ‘Ubadah untuk berbicara dengan orang lain. Ia berkata, “Bagaimana mungkin kalian rela orang kulit hitam ini yang mewakili kalian, harusnya dia adalah bawahan kalian!”
Kaum muslimin yang bersama ‘Ubadah menjawab, “Tidak! Meskipun dia berkulit hitam, seperti yang Anda lihat, dia adalah salah satu yang terbaik kedudukannya, akal dan juga pendapatnya dibanding kita. Kami tidak sama sekali mengingkari orang yang berkulit hitam!”
كَيْفَ رَضِيْتُمْ أَنْ يَكُوْنَ هٰذَا الْأَسْوَدُ أَفْضَلَكُمْ وَإِنَّمَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ هُوَ دُوْنَكُمْ
Artinya, “Bagaimana kalian rela orang kulit hitam ini yang mewakili kalian, harusnya dia adalah bawahan kalian!” (Ibnu Taghri Bardi, Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Mishr wal Qahirah, jilid I, hal. 12).
كَلَّا إِنَّهُ وَإِنْ كَانَ أَسْوَدَ كَمَا تَرَى فَإِنَّهُ مِنْ أَفْضَلِنَا مَوْضِعًا وَأَفْضَلِنَا سَابِقَةً وَعَقْلًا وَرَأْيًا وَلَيْسَ يُنْكَرُ السَّوَادُ فِيْنَا
Artinya, “Tidak! Meskipun dia berkulit hitam, seperti yang Anda lihat, dia adalah salah satu yang terbaik kedudukannya, akal dan juga pendapatnya dibanding kita. Kami tidak sama sekali mengingkari orang yang berkulit hitam!” (Ibnu Taghri Bardi, Al-Nujum al-Zahirah fi Muluk Mishr wal Qahirah, jilid I, hal. 12).
Kisah ini menunjukkan bahwa kaum muslimin tidak memandang rendah orang yang berkulit hitam. Mereka menghargai ‘Ubadah sebagai sahabat Nabi dan pemimpin delegasi mereka. Mereka juga menentang sikap rasis dan diskriminatif dari al-Muqawqis, yang menghina ‘Ubadah karena warna kulitnya.
Dari kisah tadi, kita dapat mengetahui bahwa ‘Ubadah bin ash-Shamit adalah salah satu sahabat yang ikut dalam perjanjian Baiatul Aqabah, yaitu perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dari Madinah. Ia juga termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad SAW. Ia juga dikenal sebagai salah satu ahli fiqih dan hadits yang dipercaya oleh Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulan
Dari tiga kisah di atas, kita dapat belajar bahwa politik identitas adalah sesuatu yang harus dihindari, karena dapat merusak persatuan dan perdamaian. Kita harus meneladani para sahabat Nabi yang menunjukkan sikap adil dan toleran terhadap semua orang, tanpa membedakan agama, ras, suku, atau bahasa mereka. Kita harus menghargai perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman.
Ikuti saluran Masjid Al Mubarokah di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaFmZ6F8F2p9lKqnx90s
Baca artikel kami lainnya di: Google News
Diskusi tentang post ini