Jakarta – Ada kisah tentang seorang pemuda yang tinggal di kota dan terpisah dari saudara perempuannya. Saudara perempuannya hidup bersama ibunya di pinggiran kota. Pemuda itu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak bisa tinggal bersama keluarganya.
Suatu hari, saudara perempuannya menghubungi pemuda itu dan mengatakan bahwa ia sedang sakit keras. Pemuda itu segera pulang untuk menjenguknya. Namun, sayangnya, saudara perempuannya meninggal sebelum ia sampai. Pemuda itu merasa sangat menyesal. Ia merasa telah gagal melindungi keluarganya. Sebagai laki-laki, ia merasa harus menebus dosa-dosanya.
Ia lalu mengurus jenazah saudara perempuannya. Ia membantu memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkannya. Ia bahkan ikut masuk ke dalam liang lahat untuk meletakkan jenazahnya. Setelah upacara pemakaman selesai, ia kembali ke rumah bersama ibu dan kerabatnya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dompetnya hilang. Ia ingat bahwa dompetnya terjatuh di liang lahat dan tertimbun bersama jenazah saudara perempuannya.
Ia kemudian memohon bantuan seorang temannya untuk menggali kembali kuburan saudara perempuannya. Mereka berdua pergi ke pemakaman dan mulai menggali. Mereka berhati-hati dan memperhatikan setiap gumpalan tanah yang mungkin mengandung dompetnya. Akhirnya, setelah menggali sampai dekat jenazah, dompetnya pun ditemukan.
“Tolong minggir sebentar, aku ingin melihat kondisi jenazah saudariku,” ucap pemuda itu kepada temannya.
Temannya pun keluar dari liang lahat dan memberinya ruang. Sebagai orang yang berdarah satu dengan jenazah, tentu ia ingin memastikan keadaan saudarinya di tempat peristirahatan terakhirnya. Atau mungkin juga ada kata-kata yang ingin ia sampaikan kepada saudarinya itu. Dan itu adalah hak pribadi keluarga yang harus dihormati.
Ketika ia mencoba membuka kain kafan saudara perempuannya, tiba-tiba dari liang lahat muncul api yang menyala-nyala, menyembur, dan seolah-olah siap melumat jenazah itu dengan nyala apinya. Ia sangat terkejut. Ia segera keluar dari liang dan menyuruh temannya untuk menutup kembali kuburan saudara perempuannya. Untungnya, temannya tidak menyadari hal itu.
Pikirannya pun kacau. Hatinya sangat hancur dan sedih. Ternyata saudara perempuan yang ia cintai, mendapat azab kubur yang sangat berat. Ia lalu pulang ke rumah dengan hati gelisah. Ia langsung mendekati ibunya dan berbisik.
“Wahai ibu, ceritakanlah kepadaku bagaimana kehidupan saudara perempuanku di dunia?”
Ibunya merasa heran dengan pertanyaan putranya. Ia lalu menanyakan alasan ia bertanya seperti itu. Ia pun menceritakan apa yang baru saja ia lihat di pemakaman saudara perempuannya. Namun anehnya, ibunya tidak terkejut dan malah matanya melamun sambil bercerita.
“Dulu saudarimu itu suka mengunjungi rumah-rumah tetangga. Ia lalu menempelkan telinganya di pintu, untuk mendengarkan apa yang terjadi di dalam rumah tetangga. Lalu, ketika ia mendapat informasi baru, ia sebarkan informasi itu, berbuat ghibah, bahkan memfitnah antartetangga.”
Setelah mendengar cerita ibunya, ia pun sekarang mengerti bahwa itu adalah penyebab azab kubur saudara perempuannya.
Maka barang siapa yang ingin terhindar dari azab kubur, hendaknya ia menjauhi perbuatan ghibah dan fitnah.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Itulah perkataan Hujjatul Islam, Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan Imam Ghazali, kisah ini diambil dari kitab Mukasyafatul Qulub Al-Muqarrib ila Hadrati ‘Alamil Ghuyub fi ‘Ilmi Tasawuf. Wallahua’lam
Ikuti saluran Masjid Al Mubarokah di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaFmZ6F8F2p9lKqnx90s
Baca artikel kami lainnya di: Google News
Diskusi tentang post ini