Jakarta – Pesantren dihadapkan pada tantangan baru seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Belakangan ini, robot bernama Sofia telah muncul di Arab, memberikan gambaran akan potensi hadirnya robot kiai dengan kapasitas hafalan luar biasa, termasuk kemungkinan menghafal Fathul Mu’in dan Syarah Muhadzab Imam Nawawi. Fenomena ini adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai artificial intelligence (kecerdasan buatan).
KH Nadirsyah Hosen, dalam Muktamar Pemikiran Santri Nusantara 2020, menyampaikan kekhawatiran akan dominasi artificial intelligence di masa depan, khususnya dalam pendidikan pesantren. Menurutnya, akses mudah terhadap informasi dan pengetahuan dapat memunculkan masalah baru, seperti peningkatan fundamentalisme akibat modernitas.
Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Monash, Melbourne, Australia, menggarisbawahi bahwa tantangan utama bukan hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu, melainkan dalam pertarungan antara manusia dan mesin atau artificial intelligence.
KH Mustofa Bisri juga menekankan pentingnya pesantren dalam mempertahankan nilai kemanusiaan. Dalam menghadapi artificial intelligence, diperlukan pendekatan humanis yang menggabungkan teknologi canggih dengan nilai-nilai pesantren dan keyakinan.
Gus Nadir menyarankan kerjasama antara pesantren dan ahli teknologi untuk menciptakan perangkat khusus seperti telepon, gim, dan platform pembelajaran internal pesantren, yang tetap menjaga nilai dan keterampilan yang sudah menjadi identitas pesantren.
Pesantren dan Tantangan Media
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia Selandia Baru, mengajukan 3M dalam menghadapi tantangan media pesantren: (1) melampaui teknologi, (2) memanfaatkan teknologi, dan (3) menghindari dampak negatif. Dua konsep terakhir sejalan dengan prinsip mengambil manfaat dan menghindari kerugian dalam syariat Islam.
Namun, Gus Nadir menyatakan bahwa hingga saat ini, pesantren masih berada pada tahap pemanfaatan teknologi. Di negara-negara Barat, perhatian terhadap dampak negatif dari media sosial mulai muncul.
Ia menyoroti bahwa data yang masuk ke platform digital mampu memprediksi kecenderungan masa depan, bahkan secara lebih detail daripada prediksi psikolog. Hal ini menunjukkan pentingnya kesadaran akan jejak digital yang bisa mencatat segala tindakan, termasuk dosa dan pahala seperti konsep Raqib-Atid.
Pesantren harus beradaptasi dengan media digital untuk tafaqquh fiddin (pemahaman agama yang mendalam). Ketidaktahuan terhadap media digital dapat mengakibatkan keterbelakangan dan isolasi pesantren dari percaturan global.
Nyai Umdatul Baroroh menegaskan perlunya pesantren untuk memahami dan memanfaatkan media digital. Memahami media digital menjadi kunci agar pesantren tidak tertinggal dan mampu bersaing di tingkat global.
“Pesantren harus membangun jejaring karena sulit bagi pesantren tradisional yang mempertahankan tradisi untuk berubah,” ungkap Direktur Pusat Studi Pesantren dan Fiqih Sosial.
Ikuti saluran Masjid Al Mubarokah di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VaFmZ6F8F2p9lKqnx90s
Baca artikel kami lainnya di: Google News
Diskusi tentang post ini